Di saat ini, sepeda motor bukan lagi barang mewah. Kebutuhan akan motor bagi masyarakat menengah ke bawah tak kalah besar dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Indonesia dengan jumlah penduduk 230 juta barang tentu merupakan pangsa pasar potensial bagi berbagai pabrikan motor. Tahun 2011, penjualan semua merk sepeda motor di tanah air melebihi angka 8 juta. Menarik ketika merk Honda kembali merajai dengan angka penjualan menembus 53% atau lebih dari 4 juta. Yamaha harus puas di posisi runner up dengan prosentase 39% atau 3,1 juta. Dalam 3 tahun berturut - turut sebelumnya, penjualan Honda tak lagi menyentuh angka 50% setelah ditempel ketat Yamaha.
Kebangkitan Yamaha dalam produksi motor di Indonesia tampaknya tak lepas dari kepindahan Rossi ke pabrikan berlambang garpu tala tersebut di musim 2004. Masyarakat kita yang terkenal latah memang dengan mudah mengekor segala sesuatu yang tengah on fire. Ketika sang legenda Valentino Rossi tengah berjaya bersama Yamaha, ramai - ramai orang menjatuhkan pilihan pada merk tersebut. Segenap pimpinan pabrikan Yamaha tanah air nampaknya tanggap dengan hal itu hingga sang legenda MotoGP pun terlibat langsung dalam iklan Jupiter MX. Namun setelah pamor Rossi mulai meredup, ditambah keputusannya untuk hengkang ke Ducati membuat prestasi Yamaha di ajang MotoGP melorot. Dominasi dalam 3 musim terakhir, akhirnya dipatahkan Honda melalui pembalapnya Casey Stoner. Entah berkebetulan atau tidak, seiring dengan kekalahan Yamaha dalam ajang MotoGP musim lalu, penjualan merk tersebut di tanah air pun ikut tergerus. Sementara itu Honda kian melesat seiring melesatnya prestasi para pembalap mereka di ajang MotoGP.
Persaingan ketat Yamaha-Honda dalam bisnis motor tanah air maupun ajang MotoGP, turut membawa berkah bagi nasionalisme bangsa ini. Setelah Yamaha memajang logo “Semakin di Depan” pada body motor Lorenzo, kini giliran Honda yang ikut memajang logo “Satu Hati” pada body motor Stoner. Hal demikian seharusnya merangsang Dinas Pariwisata untuk dapat memajang slogan “Visit to Indonesia” di papan iklan digital stadion old Trafford atau Etihad. Namun, itu hanya ada dalam benak saya. Hingga hari ini, potensi wisata negeri ini yang super eksotis ternyata belum tergarap secara maksimal. Tertinggal jauh dari negeri jiran yang lebih dahulu mempopulerkan slogan “Visit to Malaysia”. Mungkin saja para pengelola pabrikan motor asal Jepang tersebut lebih “nasionalis”, lantaran negeri dengan penduduknya yang amat konsumtif ini telah memberikan keuntungan berlipat ganda kepada mereka.
Booming penjualan motor tanah air bukan berarti kian membaiknya kesejahteraan masyarakat. Tak jauh dari kita, acapkali terdengar kabar seorang petani menjual sapi, hingga menggadaikan sebagian sawahnya cuma untuk membelikan motor anaknya. Sekarang ini, anak - anak berseragam SLTP pun sudah terbiasa mengendarai kuda besi dengan tarikan kencang seakan hendak mencontoh Rossi sang legenda. Lebih dari itu, seringkali lantaran kebelet buat memiliki sepeda motor seorang buruh pabrik rela hidup pas - pasan mengencangkan ikat pinggang setelah gajinya dipotong untuk membayar cicilan motor setiap bulan. Tengoklah pula di kontrakan - kontrakan petak di bantaran kali ibu kota. Hampir di tiap kamar teronggok sepeda motor. Tak peduli dengan kamar yang makin sempit. Yang jelas mereka tak mau dibilang ketinggalan jaman.
Semakin pesatnya perkembangan sepeda motor, berakibat pula pada kian menipisnya persediaan minyak bumi tanah air. Ditambah pula dengan makin besarnya anggaran guna mensubsidi BBM membuat pemerintah kini berfikir keras melakukan konversi BBM ke BBG untuk transportasi umum di Pulau Jawa dan Bali. Belum lagi kemacetan super parah di Ibu kota oleh kian menyemutnya kendaraan roda dua tersebut.
Data dari dirjen lalu lintas polri menunjukkan sepeda motor merupakan pembunuh nomor wakhid di jalan raya. Apalagi bila libur lebaran tiba, dipastikan pengendara motor merupakan korban terbesar kecelakaan selama arus mudik.
Tak dapat dipungkiri, industri otomotif merupakan sebuah industri yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Sebuah sepeda motor yang kita kendarai sehari - hari ternyata telah melewati proses panjang yang melibatkan ribuan tenaga kerja dalam proses produksinya. Tak cuma perusahaan yang berperan merakit komponen menjadi sebuah motor seperti PT AHM atau YMKI, puluhan perusahaan produsen sparepart hingga ratusan dealer pun turut ambil bagian dalam sebuah industri sepeda motor. Tak heran jika industri satu ini dikatakan menghidupi jutaan orang. Bila sebuah industri sepeda motor kolaps, dipastikan jutaan orang kehilangan mata pencaharian.
Namun di balik booming penjualan sepeda motor dewasa ini memunculkan sebuah ironi. Industri - industri tersebut ternyata lebih memilih menggunakan tenaga kontrak sebagai ujung tombaknya. Beberapa pabrikan motor di tanah air, saat ini mulai didominasi karyawan kontrak dengan durasi kontrak berkisar 9 bulan untuk selanjutnya diperpanjang atau diputus kontrak kerjanya. Kalaupun ada pengangkatan karyawan tetap, prosentasenya teramat kecil. Padahal, beban kerja para buruh teramat berat di tengah persaingan ketat antar berbagai produsen. Sebaliknya, bila nanti penjualan sedikit menurun para buruh akan langsung diberhentikan kontraknya tanpa pesangon. Nampak jelas bahwa di tengah hingar bingar pemberitaan booming industri otomotif tanah air ternyata menyimpan ironi tentang nasib ribuan buruh yang hakekatnya merupakan roda perusahaan. Perlu dicatat bahwa mayoritas buruh divisi produksi yang menggantungkan nasib pada pabrikan motor tersebut adalah alumni SMK.
Di balik hebohnya berita tentang mobil “ESEMKA”, di tengah slogan manis “SMK BISA” ternyata ribuan alumni SMK tengah terombang - ambing nasibnya di tangan kapitalis industri otomotif. Bila kontrak mereka diputus, ribuah buruh yang alumni SMK tersebut akan kembali pada titik nol yaitu mengirim surat - surat lamaran ke perusahaan lain. Setelah diterima, lagi - lagi dihadapkan pada perjanjian kerja kontrak atau outsourcing. Demikian seterusnya, hingga kemudian tak sedikit dari mereka yang kembali ke kampung halaman untuk bekerja serabutan ala kadarnya. Bila demikian masihkah pemerintah mengatakan bahwabooming industri otomotif roda dua akhir - akhir ini merupakan indikator meningkatnya kesejahteraan masyarakat? Masihkah kita mengacungkan jempol seraya berteriak lantang “SMK BISA?
Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/01/21/di-balik-booming-industri-sepeda-motor/
Saturday, January 21, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment